FILSAFAT PENDIDIKAN
A.
Filsafat
Pendidikan
Bila dirujuk dari akar kata pembentuknya, filsafat berasal dari bahasa
Yunani, yaitu Philo yang berarti
cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Dengan demikian, filsafat dapat diartikan sebagai “cinta
kepada kebijaksanaan”. Berfilsafat
dengan demikian juga bertujuan hanya untuk mencari, mempertahankan dan
melaksanakan kebenaran/kebijaksanaan atau ditujukan untuk kebenaran itu
sendiri, berfilsafat tidak bertujuan untuk ketenaran, pujian, kekayaan, atau
yang lainnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan tradisi pemikiran filosofis
Yunani yaitu suatu pemahaman atas “kebenaran-kebenaran pertama” (first truth), seperti baik, adil dan
kebenaran itu sendiri, serta penerapan dari kebenaran-kebenaran pertama ini
dalam problema-problema kehidupan. Namun dalam perkembangannya, pengertian ini
banyak ditolak oleh filosof-filosof yang lainnya dengan lebih meyakini filsafat
sebagai pemikiran “teoretik” secara keseluruhan daripada sekadar perhatian
kepada petunjuk moral atau tingkah laku.
Untuk lebih membenantu memahami filsafat, tentunya dapat dilihat dari
tugas filsafat yang paling mendasar yaitu untuk menemukan konsep-konsep yang
biasa kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam ilmu pengetahuan, lalu
menganalisisnya dan menentukan makna-makna yang tepat dan saling berhubungan.
Artinya, pengetahuan yang jelas dan akurat tentang sesuatu didahulukan atas
hal-hal yang secara umum masih kabur. Ketiadaan pengetahuan yang jelas tentang
arti dan hubungan-hubungan dari konsep-konsep yang kita gunakan, akan
menjerumuskan kita kepada kekeliruan yang fatal dalam menghadapi
persoalan-persoalan (masalah) tertentu. Selain itu, filsafat juga bertugas
untuk membongkar secara kritis segala bentuk keyakinan-keyakinan yang kita
miliki secara radikal, universal, konseptual, sistematik, bebas dan bertanggung
jawab.
Beberapa definisi filsafat yang dikemukakan oleh para filsuf berikut ini,
mungkin akan lebih membantu untuk menafsirkan dan menjelaskan mengapa filsafat
pendidikan dipelajari:
1)
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan
terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi
ini merupakan arti yang informal tentang filsafat. Filsafat dianggap sebagai
sikap atau kepercayaan yang ia miliki.
2)
Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran
terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi. Pengertian
filsafat ini merefleksikan bentuk atau tugas dari filsafat kritik, khususnya
dalam mengkritisi keyakinan-keyakinan dalam kehidupan kita sehari-hari.
3)
Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran
keseluruhan. Inilah yang menjadi tugas dari filsafat spekulatif dalam usahanya
mentransendensikan pengalaman-pengalaman dan ilmu pengetahuan dalam visi atau
gambaran yang komprehensif.
4)
Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa dan
penjelasan tentang arti kata dan konsep. Pengertian ini termasuk dalam kategori
kerja filsafat kritik sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa filsafat
mempunyai tugas menganalisis konsep-konsep seperti substansi, gerak, waktu, dan
sebagainya.
5)
Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang
langsung yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya
oleh ahli-ahli filsafat. Pengertian ini pada prinsipnya berada dalam pemikiran
para filsuf dalam rangka menjawab berbagai problematika kehidupan dan tentunya
terus berlangsung tanpa mengenal titik lelah (Widodo, 2007: 9)
Cabang-Cabang Filsafat
1) Ontologi
Ontologi atau sering juga disebut metafisika (meta = melampaui, fisik =
dunia nyata/fisik) adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat
segala sesuatu yang ada, atau membahas watak yang sangat mendasar (ultimate) dari benda atau realitas yang
berada di belakang pengalaman yang langsung (immediate experience).
Ontology berbicara tentang segala hal yang ada, pertanyaan-pertanyaan
yang akan dibongkarnya tidak terbatas, misalnya apakah hakikat ruang, waktu,
gerak, materi, dan perubahan itu? Apakah yang merupakan asal mula jagad raya
ini? Dan lain sebagainya. Kaitannya dengan pendidikan, ontologi ilmu pendidikan
membahas tentang hakikat substansi dan pola organisasi Ilmu pendidikan
2) Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan,
metode-metode, dan sahnya pengetahuan. Pertanyaan yang mendasar adalah: Apakah
mengetahui itu? Apakah yang merupakan asal mula pengetahuan kita? Bagaimana
cara kita mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan? Bagaimanakah cara kita
memperoleh pengetahuan? Dan lain sebagainya. Dengan demikian, epistemologi
membahas tentang hakikat objek formal dan material ilmu pendidikan
3) Aksiologi
Aksiologi berbicara tentang nilai dan kegunaan dari segala sesuatu
terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu pengetahuan yang
diperoleh. Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakikat nilai kegunaan
teoretis dan praktis ilmu pendidikan
4) Logika
Logika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang aturan-aturan
berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat diambil kesimpulan yang
benar. Dengan kata lain logika adalah pengkajian yang sistematis tentang
aturan-aturan untuk menguatkan premis-premis atau sebab-sebab mengenai konklusi
aturan-aturan itu, sehingga dapat kita pakai untuk membedakan argument yang
baik dan yang tidak baik.
Logika dibagi dalam dua cabang utama, yaitu logika deduktif dan logika
induktif. Logika deduktif berusaha menemukan aturan-aturan yang dapat
dipergunakan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat keharusan dari
satu premis tertentu atau lebih, sedangkan logika induktif mencoba menarik
kesimpulan tidak dari susunan proposisi-proposisi melainkan dari sifat-sifat
seperangkat bahan yang diamati. Logika ini mencoba untuk bergerak dari suatu
perangkat fakta yang diamati secara khusus menuju kepada pernyataan yang
bersifat umum mengenai semua fakta yang bercorak demikian, atau bergerak dari
suatu perangkat akibat tertentu menuju kepada sebab atau sebab-sebab dari
akibat-akibat tersebut
Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi
Tahapan
|
|
Ontologi
(hakikat ilmu pendidikan)
|
·
Obyek apa yang telah ditelaah ilmu pendidikan?
·
Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek
tersebut?
·
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan
daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang
membuahkan pengetahuan?
·
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya
pengetahuan yang berupa ilmu pendidikan?
·
Bagaimana prosedurnya?
|
Epistemologi
(Cara Mendapatkan Pengetahuan)
|
·
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya
pengetahuan yang berupa ilmu pendidikan?
·
Bagaimana prosedurnya?
·
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan dengan benar?
·
Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?
·
Apa kriterianya?
·
Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita
dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu pendidikan?
|
Aksiologi
(Guna Pengetahuan)
|
·
Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
·
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan
tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
·
Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral?
·
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/profesional?
|
diadopsi dari Suryasumantri, 1993
Dari uraian di atas, Widodo (2007:9. Lihat juga Mudyahardjo, 2004:5)
kemudian mendefiniskan filsafat pendidikan sebagai suatu pendekatan dalam
memahami dan memecahkan persoalan-persoalan yang mendasar dalam pendidikan,
seperti dalam menentukan tujuan pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran,
manusia, masyarakat, dan kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan dari dunia
pendidikan itu sendiri. Pendidikan tidak dapat terlepas dari aliran filsafat
yang melandasinya, sebagaimana dilakukan oleh Amerika Serikat yang meletakkan
filsafat pendidikan atas dasar pengkajian beberapa aliran filsafat tertentu,
seperti pragmatisme, realisme, idealisme, dan eksistensialisme, lalu dikaji
bagaimana konsekuensi dan implikasinya dalam dunia pendidikan. Begitu juga dengan pendidikan Indonesia yang
tidak bisa terlepas dari filsafat Pancasila yang notabenenya merupakan
nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Mudyahardjo (2004:5) membedakan pendidikan dalam dua macam, yaitu (1)
praktek pendidikan dan (2) ilmu pendidikan sebagai salah satu bentuk teori
pendidikan. Yang selanjutnya, juga membedakan filsafat pendidikan ke dalam dua
macam, yaitu (1) filsafat praktek pendidikan, dan (2) filsafat ilmu pendidikan.
Filsafat praktek pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang
bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam
kehidupan manusia. Filsafat praktek pendidikan dapat dibedakan menjadi: (1)
filsafat proses pendidikan (biasanya disebut filsafat pendidikan) dan (2)
filsafat sosial pendidikan. Filsafat proses pendidikan adalah analisis kritis
dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya kegiatan pendidikan dilaksanakan
dalam kehidupan manusia. Filsafat proses pendidikan biasanya membahas tiga
masalah pokok, yaitu (1) apakah sebenarnya pendidikan itu; (2) apakah tujuan pendidikan
itu sebenarnya; dan (3) dengan cara bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai.
(Henderson, 1959, sebagaimana dikutip Mudyahardjo, 2004:5).
Sementara filsafat sosial pendidikan membahas hubungan
antara penataan masyarakat manusia dengan pendidikan. Atau dapat pula dikatakan
bahwa filsafat sosial pendidikan merupakan analisis kritis dan komprehensif
tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dalam mewujudkan
tatanan masyarakat manusia idaman.
B.Epistemologi Ilmu Pendidikan
1)
Objek Formal
Ilmu Pendidikan
Objek
formal ilmu pendidikan berkenaan dengan bidang yang menjadi keseluruhan ruang
lingkup garapan ilmu pendidikan. Sedangkan objek material ilmu pendidikan
berkenaan dengan aspek-aspek yang menjadi garapan penelidikan langsung ilmu
pendidikan.
Objek
formal ilmu pendidikan menurut Mudyahardjo (2004:45) adalah pendidikan, yang
dapat diartikan secara maha luas, sempit dan luas terbatas. Pendidikan dalam
artian yang maha luas adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi
pertumbuhan seseorang. Pendidikan adalah pengalaman belajar, yang oleh karenanya
pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar
setiap orang sepanjang hidupnya.
Sedangkan
dalam pengertian pendidikan dalam arti sempit adalah sekolah atau persekolahan
(schooling). Sekolah adalah lembaga
pendidikan formal sebagai salah satu hasil rekaya dari peradaban manusia, di
samping keluarga, dunia kerja, negara dan lembaga keagamaan. Oleh karena itu,
pendidikan dalam arti sempit adalah pengaruh yang diupayakan dan direkayasa
sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mereka
mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap
hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka.
Definisi
maha luas tentang pendidikan, antara lain mengandung kelemahan tidak dapat
menggambarkan dengan tegas batas-batas pengaruh pendidikan dan bukan pendidikan
terhadap pertumbuhan individu. Sedangkan kekuatannya, antara lain terletak pada
menempatkan kegiatan atau pengalaman belajar sebagai inti dalam proses
pendidikan yang berlangsung di mana pun dalam lingkungan hidup, baik di sekolah
maupun di luar sekolah. Definisi pendidikan dalam arti sempit juga memiliki
kelemahan di antaranya terletak pada sangat kuatnya campur tangan pendidikan
dalam proses pendidikan sehingga proses pendidikan lebih merupakan kegiatan
mengajar daripada kegiatan belajar yang mengandung makna pendidik mempunyai
otoritas sangat kuat, dan pendidikan terasing dari kehidupan sehingga
lulusannya ditolak oleh masyarakat. Adapun kekuatannya, antara lain terletak
pada bentuk kegiatan pendidikannya yang dilaksanakan secara terprogram dan
sistematis.
Tabel 01: Perbandingan Konsep
Pendidikan dalam arti Maha Luas, Sempit, dan Luas Terbatas
Tertium
Komparison
|
Maha Luas
|
Sempit
|
Luas
Terbatas
|
Definisi
|
Pendidikan
adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung
dalam segala lingkungan hidup dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala
situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang
|
Pendidikan
adalah persekolahan. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan oleh
sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh
yang diupayakan sekolah terhadap anak atau remaja yang diserahkan kepadanya,
agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh hubungan-hubungan
dan tugas-tugas sosial.
|
Pendidikan
adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah,
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan, yang berlangsung di
sekolah dan di luar sekolah untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat
memainkan peranan secara tepat dalam berbagai lingkungan hidup.
|
Tujuan
|
Tujuan
pendidikan terkandung dalam setiap pengalaman belajar, tidak ditentukan dari
luar. Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan. Tujuan pendidikan tidaklah
terbatas. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup
|
Tujuan
pendidikan ditentukan oleh pihak luar. Tujuan pendidikan terbatas pada
pengembangan kemampuan tertentu. Tujuan pendidikan adalah mempersiapkan
peserta didik untuk dapat hidup di masyarakat.
|
Tujuan
pendidikan merupakan perpaduan antara perkembangan pribadi secara optimal dan
tujuan sosial dapat memainkan peranan sosial secara tepat. Tujuan pendidikan
mencakup tujuan-tujuan setiap bentuk kegiatan pendidikan
(bimbingan/pengajaran/ latihan) dan satuan-satuan pendidikan (sekolah/luar
sekolah).
|
Tempat
Pendidikan
|
Pendidikan
berlangsung dalam segala bentuk lingkungan hidup, baik khusus diciptakan
untuk kepentingan pendidikan maupun lingkungan yang ada dengan sendirinya.
|
Pendidikan
berlangsung dalam lembaga pendidikan formal atau sekolah dalam segala bentuk
|
Pendidikan
berlangsung dalam sebagian lingkungan hidup. pendidikan tidak berlangsung
dalam lingkungan hidup yang terselenggarakan dengan sendirinya. Pendidikan
berlangsung di sekolah dan satuan pendidikan luar sekolah.
|
Bentuk
kegiatan pendidikan
|
Pendidikan
terentang dari kegiatan yang mistis atau tidak sengaja sampai dengan kegiatan
pendidikan yang terprogram. Pendidikan berbentuk segala macam pengalaman
belajar dalam hidup. Pendidikan berlangsung dalam beraneka ragam bentuk,
pola, dan lembaga. Pendidikan dapat terjadi di mana pun dalam hidup.
Pendidikan lebih berorientasi pada peserta didik
|
Isi
pendidikan tersusun secara terprogram dalam bentuk kurikulum. Kegiatan
pendidikan lebih berorientasi pada
pendidik (guru). Sehingga guru mempunyai peranan yang sentral dan menentukan.
Kegiatan pendidikan terjadwal dalam tenggang waktu tertentu.
|
Kegiatan
pendidikan dapat berbentuk pendidikan formal, non formal dan informal.
Kegiatan pendidikan dapat berbentuk bimbingan, pengajaran dan/atau latihan.
Kegiatan pendidikan selalu merupakan usaha sadar yang tercakup di dalamnya
pengelolaan pendidikan secara nasional dan pengelolaan dalam satuan-satuan
pendidikan di sekolah. Kegiatan pendidikan berorientasi pada komunikasi
pendidikan peserta didik
|
Masa
Pendidikan
|
Pendidikan
berlangsung seumur hidup dalam setiap saat selama ada pengaruh lingkungan
terhadap pertumbuhan seseorang. Pendidikan berlangsung sejak lahir hingga
meninggal dunia, dan berlangsung sembarang.
|
Pendidikan
berlangsung dalam waktu terbatas, yaitu pada masa anak-anak dan remaja.
Kegiatan pendidikan terbatas pada kegiatan bersekolah.
|
Pendidikan
berlangsung seumur hidup, yang kegiatan-kegiatannya tidak berlangsung
sembarang, tetapi terbatas pada adanya usaha sadar.
|
Pendukung
|
Kaum
humanis, kaum humanis radikal cenderung tidak percaya pada pendidikan di
sekolah. Kaum moderat cenderung memperbaiki pendidikan sekolah
|
Kaum
behavioris, mereka cenderung pada pelaksanaan pendidikan secara terprogram
|
Kaum
realisme kritis, mereka mengupayakan perpaduan yang harmonis antara
pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah
|
Sumber: Mudyahardjo (2004:62-63)
2) Objek
Material Ilmu Pendidikan
Sebagaimana
telah diungkap di atas, bahwa objek material ilmu pendidikan adalah salah satu
aspek pendidikan. Apabila dilihat dari segi ini, maka ilmu pendidikan dibagi
menjadi dua, yaitu 1) ilmu pendidikan makro, yaitu yang menyelidiki keseluruhan
yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu
dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan nasional, dan 2) ilmu
pendidikan mikro, atau ilmu pendidikan yang menyelidiki satuan pendidikan atau
kegiatan pendidikan secara keseluruhan atau hanya satu satuan atau satu bentuk
kegiatan pendidikan.
Bagan
berikut, diharapkan dapat membantu kita untuk lebih memahami bagian atau
cabang-cabang dari ilmu pendidikan (objek material ilmu pendidikan).
C. Aksiologi Ilmu Pendidikan
1) Aksiologi
Ilmu Pendidikan (Nilai Kegunaan Teoretis)
Meskipun
status ilmiahnya masih belum sejajar dengan ilmu-ilmu yang sudah mapan, ilmu
pendidikan dapat memberikan sumbangan teoretis terhadap perkembangan ilmu-ilmu
sosial (Social Sciences) atau
ilmu-ilmu tingkah laku (Behavioral
Sciences). Sumbangan tersebut, antara lain berupa memperluas konsep-konsep
ilmiah yang berkenaan dengan kehidupan sosial atau pada tingkah laku manusia.
Ilmu pendidikan menghasilkan konsep-konsep ilmiah tentang pola tingkah laku
dalam proses belajar mengajar yang berlangsung di lingkungan hidup manusia.
Konsep tersebut menambah rekanan konsep-konsep aspek sosial-budaya dalam
kehidupan manusia.
2) Aksiologi
Ilmu Pendidikan (Nilai Kegunaan Praktis)
Konsep-konsep
yang dihasilkan oleh ilmu pendidikan dapat memberi pedoman dasar kerja
pendidikan/pengelola pendidikan dalam melaksanakan tugasnya. Konsep-konsep yang
dikembangkan ilmu pendidikan, berkenaan dengan bagaimana proses pengelolaan dan
pelaksanaan praktek pendidikan terselenggara. Dengan demikian konsep-konsep
tersebut merupakan prinsip-prinsip tentang praktek-praktek pengelolaan dan
kegiatan pendidikan (mendidik).
Hasil
penelitian Arora Kamla sebagaimana dikutip Mudyahardjo (2004:196) menyatakan
bahwa karakteristik profesional yang sangat mempengaruhi efektivitas guru
mengajar adalah berkenaan dengan kemampuan-kemampuan: 1) menerangkan dengan
jelas topik-topik yang menjadi bahan ajaran, 2) menyajikan dengan jelas tentang
mata pelajaran, 3) mengorganisasikan secara sistematis tentang mata pelajaran,
4) berekspresi, 5) membangkitkan minat dan dorongan siswa untuk belajar, dan 6)
menyusun rencana dan persiapan mengajar. Penguasaan keenam kemampuan tersebut
merupakan awal dan sangat mempengaruhi efektivitas guru mengajar.
B. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan
Persoalan bagaimana pendidikan akan diselenggarakan secara
ideal/semestinya, sangat tergantung dari cara pandang masyarakat terhadap
nilai-nilai moral dan politik yang kemudian melahirkan ideologi pendidikannya.
Untuk itu perlu dipahami apa yang melandasi praktek-praktek pendidikan dewasa
ini, sehingga kita tidak terjebak ke dalam penafsiran yang keliru mengenai
pendidikan sebagai sebuah sistem dan sebagai manifes dari kehidupan manusia itu
sendiri.
Rasionalisme menganggap bahwa kecerdasan yang terlatih adalah penyedia
cara terbaik untuk hidup, pemikiran ini cenderung kearah pemerintahan yang
terbuka dan liberal, serta ke arah corak yang serupa dengan (dan mendukung)
system-sistem pemerintahan yang liberal. Sebaliknya, non-rasional menganggap
bahwa kebanyakan kebenaran yang punya arti penting hanya bisa diakses melalui
cara-cara non-rasional; misalnya lewat wahyu, iman, atau intuisi mistis, atau
menganggap bahwa penalaran aktif, kurang dapat dipercaya ketimbang pola-pola
keyakinan dan perilaku social yang konvensional. Orientasi-orientasi semacam
itu hampir pasti memilih pula ‘pendidikan yang keras’
Konservatisme pendidikan menganggap bahwa nalar adalah baik, namun nalar
mesti tetap menjadi subordinat atau bawahan dari pola-pola keyakinan dan
perilaku social yang lebih dulu dinalar (atau yang memiliki potensi kenalaran),
yang muncul dari penyesuaian-penyesuaian budaya terhadap keadaan-keadaan yang
muncul sepanjang sejarah sebuah masyarakat yang sebelumnya tidak dinalat (namun
yang diprakirakan berkualitas nalar).
Liberalisme, Liberasionisme dan Anarkisme (ketiga-tiganya) menganggap
bahwa kebaikan tertinggi adalah untuk hidup sedemikian rupa hingga memungkinkan
pengungkapan sepenuh-penuhnya dari kecerdasan terlatih, yakni pemikiran kritis
yang dipandang sebagai penerapan praktis dari proses-proses penyelesaian
masalah personal maupun social secara ilmiah. Ketiganya berbeda dalam hal
bagaimana mereka memandang kondisi-kondisi yang diperlukan bagi terjadinya
pemikiran kritis semacam itu.
Liberalisme menekankan pemikiran kritis individu sebagai asal-usul dan
landasan bagi semua perubahan social yang tercerahkan. Seorang liberalis
meragukan ideology-ideologi social yang tidak lahir dari temuan penyelidikan
yang berdasarkan objektivitas ilmiah. Dalam hal ini, ia memprioritaskan yang
personal (individu) di atas yang social (termasuk yang politis). Sementara itu,
seorang liberasionis merasa bahwa pemikiran kritis individual itu mustahil
berlangsung dalam ketiadaan sebuah system politik yang mendorong dan memelihara
kondisi-kondisi social dan intelektual yang merupakan prasyarat bagi kecerdasan
umum yang sepenuhnya berkembang. Sebaliknya juga, seorang anarkis merasa bahwa,
bias dikatakan semua system politik dan pendidikan pasti merupakan kekuatan
yang mengasingkan dan menindas, dan berada di antara kecenderungan alamiah
individu ke arah perwujudan diri, dengan kecenderungan yang juga sama
alamiahnya untuk menjadi terlibat secara budaya (namun tidak secara social)
dalam semua corak pemikiran kritis yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan
kehidupan social yang dihidupkan oleh kecerdasan dan kerjasama.
Satu dari sekian problem yang berat dalam berbicara mengenai keterkaitan
yang ada antara pendidikan dengan sudut pandang filosofis yang melandasinya
adalah persoalan melacak pola yang relative jelas dan langsung mencerminkan
hubungan antara berbagai perbedaan fundamental di wailayah etika serta filosofi
politik di satu sisi dan berbagai perbedaan ideology pendidikan di sisi yang
lain.
Secara umum, O’neill (2002:125-126) menguraikan adanya tiga pola
keterkaitan yang berlangsung antara posisi-posisi dasar dalam etika social
serta teori pendidikan.
1.
Keteraitan logis,
yang terjadi di mana ada hubungan yang relative jelas dan perlu, yang tersimpul
di antara posisi-posisi moral dan politis; atau keterkaitan yang jelas antara
posisi-posisi itu (yang secara umum dipandang dalam perpaduan, sebagai etika
social) dengan ideology pendidikan. Ada umpamanya, sebuah hubungan logis yang
cukup jelas antara rasionalisme filosofis atau teologis di ranah moral dengan
sebuah komitmen politis dalam salah satu bentuk meritokrasi, seperti juga ada
hubungan yang cukup terbuka antara meritokrasi politis dengan pemakaian
sekolah-sekolah untuk mengembangkan sebuah elit intelektual atau elit moral.
2.
Keterkaitan
psikologis yang terjadi di mana, seperti telah diungkapkan tadi, mungkin
tidak ada kepastian hubungan logis antara sebuah filosofi sosial tertentu
dengan pendirian tertentu di bidang pendidikan; namun ada hubungan timbal-balik
yang cukup jelas terlihat antara keduanya, yang muncul dengan lebih dihubungkan
dengan dinamika kejiwaan (psikodinamika) yang mengatur pilihan atas keduanya
(atau mungkin ditentukan oleh sesuatu yang lain sama sekali, namun tetap
bersifat penentu dari luar), ketimbang adanya hubungan alamiah apa pun yang
inheren antara keduanya.
3.
Keterkaitan
sosial adalah asosiasi yang nampak jelas yang ada di antara posisi moral
dan filosofis di dalam budaya tertentu di suatu saat tertentu dalam sejarah.
Posisi-posisi konservatif tertentu (seperti fundamentalisme secular dan
jenis-jenis konservatisme secular) khususnya merumuskan diri sendiri dalam
peristilahan ‘tradisi-tradisi budaya’ atau ‘pola-pola keyakinan dan perilaku
yang lestari’. Keduanya terkenal sulit dirumuskan dengan ketepatan dan
ketegasan, dan keduanya jelas sekali sangat dikondisikan oleh wajah budaya
tertentu di suatu saat tertentu. Sudut pandang semacam itu hanya bias
didiskusikan secara cerdas di dalam kerangka kerja batasan-batasan budaya dan
sejarah yang dirumuskan lebih dulu dengan tegas. Jadi, program tertentu yang
diajukan oleh banyak konservatifis social, dalam kaitannya dengan politik
pendidikan, cenderung untuk jauh berbeda dalam budaya yang berbeda dan dalam
era yang berbeda meski budaya pokoknya sama. Misalnya, seorang Amerika yang
berpandangan politik konservatif di tahun 1783 akan menjadi seorang individu
yang berlainan dengan seorang Amerika yang berpandangan konservatif di tahun
1876 atau 1978.
Untuk itu kita perlu kembali kepada persoalan mendasar tentang pendidikan
dan manusia. Pendidikan tidak lain (kalau boleh dikatakan demikian) menurut
pandangan di atas, sebenarnya adalah proses perwujudan diri individu manusia
untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan yang hakiki melalui garis intelektualitas
dan moralitas yang dimilikinya.
Ada tiga dalil pokok mengenai nilai sebagai perwujudan diri manusia,
yaitu:
1)
Petunjuk-petunjuk moral hanya berlaku tentang hal-hal
yang bagi manusia adalah mungkin (untuk dilakukan atau tidak dilakukan, untuk
menjadi atau untuk tidak menjadi);
2)
Seluruh kemungkinan merujuk pada potensi-potensi
tertentu dalam diri manusia, yang bisa dikenali, untuk bertindak atau untuk
menjadi.
3)
Dengan demikian, ‘hidup yang baik’ pada puncaknya bisa
dirumuskan (meski perumusan ini dilakukan pada tingkat generalisasi yang
tinggi) sehubungan dengan potensi-potensi manusia yang ada untuk disempurnakan
atau diwujudkan.
Dari tiga dalil pokok ini, kita dapat membedakan mana perilaku yang
termasuk mewujud (bermoral) yang dilakukan oleh seseorang dan mana yang tidak
bermoral (potensi-potensi pada diri individu tidak mewujud-imoral).
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mungkin manusia menjalani hidup
yang baik, atau hidup di mana dirinya mewujud. Secara umum, ada enam sudut
pandang fundamental tentang bagaimana caranya hidup secara baik, dan keenam
sudut pandang ini juga merupakan dasar dari pandangan filosofis bagi munculnya
aliran-aliran filsafat pendidikan (hal ini mendominasi kebudayaan Barat
kontemporer), O’neill (2002:94-95):
1.
Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari
ketaatan terhadap berbagai tolok ukur (standar) intuitif dan/atau yang
terungkap pada keyakinan dan perilaku.
2.
Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari
pencerahan filosofis dan/atau keagamaan yang didasarkan pada penalaran
spekulatif serta kebijaksanaan metafisis.
3.
Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari
ketaatan terhadap berbagai tolok ukur yang mapan (konvensional) tentang
keyakinan dan perilaku.
4.
Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari
kecerdasan praktis (yakni pemecahan masalah secara efektif)
5.
Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari
pengembangan lembaga-lembaga sosial yang baru dan lebih manusiawi (humanistik).
6.
Yang menganggap bahwa kebaikan tertinggi tumbuh dari
penghapusan pembatasan-pembatasan kelembagaan, sebagai sebuah cara untuk
memajukan perwujudan kebebasan personal yang sepenuh-penuhnya.
Keenam filosofi moral di atas, kemudian dibagi lagi ke dalam ranah
filosofi politik dasar, tiga diantaranya merupakan ungkapan politis mendasar
dari sudut pandang Konservatif.
1)
Konservatisme reaksioner (otoritarianisme
anti-intelektual)
2)
Konservatisme filosofis (otoritarianisme intelektual)
3)
Konservatisme sosial (konvensionalisme otoritarian)
Di samping itu ada tiga ungkapan politis dari sudut pandang Liberal,
yaitu:
1)
Liberalisme politis
2)
Liberasionisme politis
3)
Anarkisme politis
DAFTAR PUSTAKA
Jalal, Fasli & Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
O’neil, William F. 2001.
Ideologi-Ideologi Pendidikan, Alih Bahasa: Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sidi, Indra Djati, 2001. Menuju
Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina.
Thut, I.N & Don Adams, 2005. Pola-Pola
Pendidikan Dalam Masyarakat Kontemporer. Penerjemah: SPA Teamwork. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tilaar, H.A.R. 1997. Pengembangan
Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi Visi, Misi, dan Program Aksi
Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Jakarta:
PT. Grasindo
-------,2002. Pendidikan Untuk
Masyarakat Indonesia
Baru 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed. Jakarta: PT. Grasindo
Tirtahardja, Umar & Lasulo. 1994. Pengantar Pendidikan, Jakarta:
Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti Depdikbud.